18.9 C
East Java

Eko Suryono In Memoriam

Loading

http://Jempolindo.id – Jember. Sebelum menulis kenangan bersama Tokoh Senior Jurnalistik yang satu ini, jujur saya harus mengendapkan terlebih dahulu seluruh emosi yang berkecamuk dalam benak. Antara sesal dan kekaguman, bukanlah mudah diselaraskan.

Eko Suryono, sosok yang keras, cerdas,  teguh dalam pendirian dan peduli.  Itu gambaran dari kepribadian yang masih melekat, meski tak banyak yang mampu terekam sejenak bersamanya.

Aku mengenalnya ketika beliau mengajakku menggarap Tabloid Suara Timur. Pasca dihentikannya penerbitan Tabloid Lentera, era Bupati Jember Drs Samsul Hadi Siswoyo Msi ( almarhum).

“Ini hanya kamu dan Mas Gani (Syaifuddin Abdul Ghani) yang bisa aku ajak menggarap Suara Timur,” ujarnya kala itu.

Aku mengerti, Mas Eko hanya membesarkan hatiku. Bagaimana tidak, aku yang masih bau kencur dalam bidang Jurnalistik disandingkan dengan tokoh senior sekelas Mas Ghani ?.

Tawaran itu kuterima dengan senang hati. Kebetulan sekalian buat belajar lebih dalam menulis dan menjadi wartawan seperti para senior itu.

Lalu kami berdua menghadap mantan Sekda Jember Joewito dan membicarakan segala sesuatunya terkait dengan penerbitan Tabloid Suara Timur.

Praktis aku hanya menjadi pendengar dan menyaksikan kepiawaian mas Eko melakukan lobi – lobi. Bagiku, saat itu menjadi pelajaran pertama tehnik negosiasi darinya, menjadi kenangan berharga.

Sejak itulah, kami berinteraksi belajar bagaimana menggarap media cetak yang baik dan laik jual.

Sebentar, saya harus menarik napas panjang, ada sesal yang menyelinap dan menggumpal menjadi rasa bersalah.

Baiklah !, Entah bagaimana ceritanya, selang beberapa edisi, Mas Eko mengambil keputusan menghentikan penerbitan Suara Timur. Barangkali, saat itu emosinya sedang tak stabil.

“Tulisan elek koyok ngene iki sopo sing kate moco ?,” Nada suaranya keras samnil meremas Terbitan Suara Timur edisi terahir yang kami garap dan membuangnya.

Sungguh, aku sama sekali tak ada rasa benci. Tamparan itu membuatku semakin tertantang untuk belajar lebih semangat.

Semangat yang ditanamkan mas Eko justru melecutku. Aku tertantang membuat media yang berkualitas.

Gayung bersambut, Abah Samsul (begitu kami memanggil Bupati Samsul Hadi Siswoyo) menawarkan kembali untuk menerbitkan kembali Tabloid dengan nama Cakrawala. Tabloid itu aku garap bersama Sullam, Sutarna Wijaya dan Tauifq (almarhum).

Mas Eko, kala itu masih terus membimbingku dengan gayanya yang khas. Sesekali melecehkan dan tak jarang juga memberi semangat.

“Awakmu kalau cuma garap cakrawala tok yo kapan pintere,” mas Eko tak bosan bosannya memberiku semangat.

Hingga tak terasa aku sendirian telah menggarap 11 Tabloid yang kuterbitkan bersama lembaga yang bersedia membiayainya.

Eko Suryono, bagiku adalah sosok yang tak pernah bosan mengajariku merajut impian.

Selama tiga bulan terahir sebelum wafat, beliau menelponku dan setiap kali aku menerima telponnya dibenakku selalu ada tanda tanya. “Ada apa lagi ini ?”.

“Met aku nang Jember, gak iso ketemu aku tah ?. Awakmu garap media on line Jempol yo… ? Aku yo garap pisan,  jenenge kok yo podo, tapi TV,” suara khasnya masih terngiang.

Belakangan Mas Eko lebih intens menghubungiku, meski sekedar bertanya keadaanku.

“Met, yo opo kabarmu ? Sekali kali aku sambangono nang Banyuwangi. Wis kalau cuma turu wis tak siapno panggon. Aku sengojo gawe panggon sing enak gawe konco konco,” itu percakapan tiga bulan berselang.

Sayangnya, aku tak berkesempatan menjumpainya. Sementara beliau terus berusaha menghubungiku melalui ponselnya.

Sampai detik – detik  menjelang sakitnya, mas Eko masih mencoba menghubungiku.

“Met aku saiki loro, komplikasi ketoke,” saat itu masih dirawat di Rumah Sakit Banyuwangi.

Sesekali mas Eko menghubungiku dengan Vidio Call. Aku sama sekali tak menyangka bahwa sepertinya ada yang hendak dikatakannya di ahir waktunya.

Kesibukanku sungguh tak memberiku ruang untuk menjenguknya.

“Mas, pokok sampean cepet waras yo,” kataku sambil menahan kecamuk.

Mas Eko, mungkin juga sedang berjuang menahan sakitnya, saat membalas chattinganku melalui WhatsApp.

“Yo, maturnuwun yo,” itu Chatingan terahir bersamanya. Sebelum kemudian aku membaca Mbak Sulis (istrinya) menulis status melalui akun mas Eko bahwa beliau sudah kritis.

Eko Suryono, Kakanda, sahabat dan sekaligus guruku.

Selamat jalan, aku disini, dijiwa paling dalam masih menyimpan  segenggam kenangan bersama idealismemu. (*)

 

 

Table of Contents
- Advertisement -spot_img

Berita Populer

- Advertisement -spot_img