Jawa Barat, Jempolindo.id – Nama Aura Cinta, remaja asal Cikarang, Bekasi, mendadak viral, setelah video debatnya dengan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menyebar di media sosial.
Pertemuan tersebut terjadi pada 26 April 2025, diunggah di kanal YouTube Kang Dedi Mulyadi Channel, dan telah ditonton lebih dari 3,4 juta kali dalam tiga hari .
Aura, yang rumahnya digusur di bantaran Sungai Bekasi, mengkritik kebijakan Dedi terkait larangan wisuda sekolah dan penggusuran tanpa kompensasi memadai. Perdebatan ini memicu diskusi nasional tentang kesenjangan sosial, hak rakyat kecil, dan etika komunikasi publik.
Isu Penggusuran dan Protes Aura Cinta
Awal mula perdebatan bermula dari unggahan video TikTok Aura pada 20 April 2025. Dalam video tersebut, ia duduk di antara reruntuhan rumahnya yang digusur, menyatakan kekecewaan atas kebijakan pemerintah yang dianggap mengorbankan warga miskin.
“Katanya pembangunan untuk rakyat, tapi kami justru terusir,” ujarnya .
Aura menuding proyek bendungan dan larangan motor sebagai contoh kebijakan yang tidak melibatkan partisipasi masyarakat.
Video ini viral dengan 10 juta tayangan dan memicu undangan Dedi Mulyadi untuk bertemu warga Cikarang, termasuk Aura dan keluarganya .
Dalam pertemuan itu, Aura menegaskan pentingnya acara perpisahan sekolah sebagai momen terakhir berkumpul dengan teman-teman.
Menurutnya, biaya Rp1 juta untuk wisuda masih terjangkau dan tidak memberatkan. Namun, Dedi menolak argumen ini, menyebut acara seremonial seperti wisuda SMA sebagai “pemborosan” yang membebani keluarga miskin .
Pertanyaan tentang Latar Belakang Aura Cinta
Perdebatan semakin memanas ketika Dedi Mulyadi menyoroti latar belakang ekonomi Aura.
“Kenapa miskin ingin hidup bergaya? Kalau merasa miskin, harusnya prihatin,” ujar Dedi, yang langsung direspons Aura dengan pengakuan: “Iya, saya miskin” .
Namun, warganet kemudian mengungkap fakta mengejutkan: Aura ternyata pernah menjadi bintang iklan pinjaman online (pinjol) dan aktris sinetron .
Beberapa netizen juga menyoroti kepemilikan iPhone-nya, yang dianggap kontradiktif dengan narasi kemiskinan yang ia suarakan .
Dedi Mulyadi kemudian mengklarifikasi bahwa Aura bukanlah remaja biasa.
“Usianya hampir 20 tahun, sudah lulus SMA setahun lalu, dan bisa mencari uang sendiri sebagai bintang iklan,” tegasnya .
Pernyataan ini memunculkan spekulasi bahwa debat tersebut adalah “settingan” untuk pencitraan, meski Dedi membantahnya: “Saya tidak tahu latar belakangnya sebelumnya. Saya anggap anak itu ikhlas” .
Polarisasi Opini Publik
Debat ini membelah opini publik. Sebagian warganet memuji keberanian Aura menyuarakan aspirasi warga terdampak kebijakan.
“Dia mewakili suara yang sering diabaikan,” tulis salah satu komentar di YouTube .
Di sisi lain, banyak yang mendukung Dedi, terutama terkait efisiensi anggaran pendidikan.
“Wisuda SMA memang sering dikomersialisasi sekolah. Dedi benar ingin melindungi orang tua dari beban biaya,” kata seorang pengguna Twitter .
Tokoh publik seperti Lita Gading turut bersuara, mengkritik gaya komunikasi Aura yang dianggap “sarkastik” dan kurang menghormati otoritas .
Namun, Dedi menegaskan bahwa kritik seperti ini justru membuka ruang dialog: “Tugas pemimpin adalah mengarahkan argumen agar berdasar hukum, bukan mematikan suara rakyat” .
Implikasi Kebijakan dan Masa Depan
Larangan wisuda SMA oleh Dedi Mulyadi bukanlah kebijakan baru. Sejak 2024, Pemprov Jabar telah mengalihkan anggaran pendidikan ke program beasiswa dan perbaikan infrastruktur sekolah .
Namun, Aura dan sebagian masyarakat menilai langkah ini mengabaikan aspek emosional siswa.
“Kenangan indah tak hanya dari proses belajar, tapi juga momen kebersamaan,” bantah Aura .
Dedi menawarkan kompromi: sekolah boleh mengadakan acara perpisahan secara mandiri tanpa melibatkan institusi resmi, sehingga biaya tidak dibebankan ke orang tua .
Solusi ini dianggap belum menjawab akar masalah, terutama bagi keluarga yang tetap kesulitan membiayai acara sederhana.
Debat antara Dedi Mulyadi dan Aura Cinta mencerminkan kompleksitas kebijakan publik di tengah disparitas ekonomi.
Di satu sisi, pemerintah berupaya mengoptimalkan anggaran untuk kepentingan mayoritas; di sisi lain, kelompok marginal merasa hak-hak dasarnya diabaikan.
Viralitas kasus ini juga menyingkap dinamika media sosial, di mana narasi personal bisa menjadi alat politik maupun kritik sosial.
Aura Cinta, dengan segala kontroversinya, telah menjadi simbol perlawanan warga kecil—meski latar belakangnya dipertanyakan.
Sementara Dedi Mulyadi diuji untuk membuktikan bahwa kebijakannya benar-benar “pro-rakyat”, bukan sekadar retorika.
Perjalanan dialog ini akan terus diawasi publik, terutama menjelang pemilu gubernur Jabar 2030. (#)
*) Sumber Referensi: Detik.com , CNN Indonesia , 1tulah News , Gelora.co , Kompas.com , Okezone , CNA.id , Rublik Depok .