Jember, Jempolindo.id – Menyikapi kondisi terkini, mahasiswa seluruh Indonesia secara serentak, melancarkan protes keras, sembari mengobarkan tagar Indonesia Gelap.
Tak terkecuali, DPC GMNI Cabang Jember, yang juga tergugah untuk turut bergerak, dengan berkirim Surat Pernyataan Sikap kepada Presiden RI Prabowo Subianto, DPR-RI dan DPRD Kabupaten Jember.
Melalui pernyataan sikapnya, yang ditanda tangani Ketua DPC GMNI Jember Abdul Aziz Alfazri, dan Sekretaris DPC GMNI Jember Salma Hidayah, yang diterima redaksi, pada Rabu (19/02/2025), menegaskan perlawanannya.
Indonesia Gelap Evaluasi 100 Hari Kerja Prabowo Gibran
Pemerintahan Prabowo-Gibran yang dilantik pada tanggal 20 Oktober 2024, kini telah melewati 100 hari pertama dalam periode kepemimpinannya.
Hal tersebut biasanya menjadi momentum untuk mengukur dan mengevaluasi berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan.
“Tetapi, patut kita sadari bahwasannya dalam 100 hari pertama ini berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Prabowo Gibran, menuai kritik dan penolakan dari masyarakat, hal tersebut bisa dilihat dari gerakan penolakan yang dilakukan secara nasional tentang Indonesia Gelap,” paparnya.
Kebijakan yang hadir, secara terang-terangan tidak berpihak terhadap kepentingan rakyat dan dibuat dengan tergesa-gesa sehingga mengorbankan hak hidup orang banyak.
“Kenyataannya pada hari ini kondisi Indonesia kian hari makin memburuk mulai dari kondisi ekonomi yang mengalami stagnasi, kekhawatiran atas kenaikan pajak dan kelangkaan LPG 3 Kg, serta pendidikan dan kesehatan yang menjadi hak fundamental warga negara bukan menjadi prioritas dalam periode ini,” jelasnya.
Cabut Inpres No 1 Tahun 2025
Tentu, hal tersebut bertentangan dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Indonesia
Negara Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang menyatakan bahwa tujuan dari berdirinya Negara Indonesia tidak lain adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
“Kondisi ekonomi yang mengalami stagnasi membuat Presiden Prabowo mengambil tindakan dengan mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 (Inpres No. 1/2025) tentang Efisiensi Anggaran,” tegasnya.
Efisiensi Anggaran yang dimaksud tidak pernah dijelaskan kepada khalayak publik secara transparan.
Pasalnya dengan dikeluarkannya Inpres No. 1/2025 hampir keseluruhan Lembaga Negara harus memangkas anggaran kebutuhannya yang imbasnya terhadap masyarakat.
“Inpres No. 1/2025 merupakan salah satu contoh kebijakan yang dikeluarkan tidak berdasarkan pertimbangan dan kajian yang komprehensif sehingga rakyatlah yang harus menanggung beban dari ketidakjelasan pemerintah,” ujarnya.
Inpres merupakan pengejawantahan dari Indonesia sebagai negara kesejahteraan (welfare state) diwujudkan dalam Peraturan Kebijakan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
“Tetapi, dengan dikeluarkannya Inpres No. 1/2025 pemerintah secara jelas tidak berorientasi pada kesejahteraan rakyat,” katanya.
Pemangkasan anggaran sebesar Rp306,7 triliun melalui Inpres No. 1/2025 bukan sekadar kebijakan efisiensi, melainkan efek domino yang mengguncang perekonomian Indonesia, melumpuhkan sektor sektor vital, dan membatasi ruang gerak pembangunan.
“Presiden Prabowo bahkan secara terang-terangan mengatakan bahwa dana hasil efisiensi anggaran sebesar 24 triliun akan dipakai untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG),” katanya.
Kebijakan tersebut sangat ironis jika mengingat banyak sektor penting yang dikorbankan demi menunjang nafsu pemerintah terhadap program-progam populisnya.
“Ancaman penurunan kualitas pendidikan di Indonesia juga terpampang jelas dengan dipangkasnya anggaran riset ilmiah, serta berbagai pengurangan terhadap fasilitas penunjang penyelenggaraan pendidikan,” ujarnya.
Guliran dampak kebrutalan efisiensi anggaran tentunya juga berimbas pada menurunnya kualitas pelayanan kesehatan secara nasional.
Tidak berhenti sampai disitu, kebrutalan efisiensi anggaran juga berdampak buruk terhadap sektor pertanian, penyediaan insfrastruktur publik, operasional alat pendeteksi bencana alam, pengembangan kebudayaan, dan ancaman pengurangan pegawai besar-besaran di banyak lembaga.
Undang Undang Yang Mengakomodir Oligarki
Tidak hanya itu saja, dalam periode 100 hari ini, pemerintahan Prabowo-Gibran bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) juga telah mengesahkan berbagai Undang Undang yang juga tidak berorientasi pada kesejahteraan rakyat, tetapi hanya mengakomodir kepentingan dari elite-elite oligarki.
Revisi Keempat dari Undang-Undang tentang Minerba juga melalui mekanisme yang sama, tidak melibatkan partisipasi publik, tergesa-gesa, dan tidak ada transparansi dari awal proses perencanaan, pembahasan, hingga pengesahan menjadi Undang-Undang.
Menjadi hal yang utama untuk DPC GMNI Jember, menolak Revisi Keempat Undang-Undang Minerba ini karena hadirnya Undang-Undang tersebut secara jelas telah cacat secara formil (prosedural).
Jika melihat beberapa alasan dari DPR RI yang menjelaskan bahwa urgensi revisi tersebut karena untuk memperluas subjek penerima Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang sebelumnya telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024.
Alasan tersebut merupakan alasan yang tak mendasar, dan secara jelas menabrak konstitusi, serta bertentangan dengan asas “lex superior derogat legi inferior”.
Kontroversi Revisi UU Minerba
Disahkannya Revisi keempat Undang Undang Minerba merupakan bentuk nyata dari kesewenang-wenangan pemangku kebijakan baik legislatif maupun eksekutif yang mengabaikan kepentingan rakyat dan keberlanjutan lingkungan.
Seharusnya revisi tersebut menjadi instrumen untuk mewujudkan cita-cita yang telah tertera dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945, bahwa bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk kesejahteraan rakyat.
Atau setidaknya mengubah berbagai pasal yang kontroversial, seperti pasal yang menjadi sarana kriminalisasi aktivis dalam membela hak atas lingkungan yang baik dan sehat.
Tetapi, pada kenyataanya revisi tersebut malah memperluas subjek penerima IUP dan menambah mekanisme prioritas yang bersifat sentralisme tidak transparan dan syarat akan kepentingan investor.
Perluasan izin usaha pertambangan kepada UMKM, Koperasi, dan Ormas Keagamaan menjadi langkah yang sarat kontroversi.
Alih-alih memperkuat ekonomi rakyat kebijakan ini justru membuka celah bagi eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali.
Membungkam Perguruan Tinggi
Awalnya, perguruan tinggi juga direncanakan mendapatkan izin konsesi tambang, tetapi Pemerintah dan DPR RI menjelaskan bahwa telah menghapus ketentuan tersebut dengan dalih menjaga independensi akademik.
Sebagai gantinya perguruan tinggi kini dipaksa bergantung pada pendanaan dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), atau badan usaha swasta yang ditunjuk pemerintah sebagai sebuah skema yang justru memperkuat kontrol negara terhadap dunia akademik.
Alasan dari Pemerintah dan DPR RI tidak bisa diterima begitu saja, pasalnya hingga sampai saat ini draft dari Undang-Undang Keempat tentang Minerba belum disebarluaskan kepada publik.
Meskipun melalui BUMN dan BUMD, ancaman terhadap kebebasan akademik tetap nyata.
Ketergantungan pada dana hasil tambang berpotensi membungkam perguruan tinggi dan membatasi ruang gerak penelitian yang bertentangan dengan kepentingan ekonomi dan politik penguasa.
Lebih jauh lagi, pemberian izin tambang kepada UMKM dan ormas keagamaan berisiko tinggi mengingat sektor pertambangan bukanlah industri yang bisa dikelola sembarangan.
Tanpa pengalaman dan sumber daya yang memadai risiko kerusakan lingkungan hingga konflik sosial akan semakin sulit dikendalikan.
Indonesia Semakin Terpuruk
Lebih jauh lagi, IUP yang diberikan bukan hanya berpotensi menjadi alat politik tetapi juga membuka ruang bagi eksploitasi terselubung oleh korporasi.
Keputusan Pemerintah bersama DPR RI untuk mengesahkan Revisi Keempat Undang-Undang Minerba ini bukan hanya bentuk pengkhianatan terhadap amanat konstitusi tetapi juga ancaman nyata bagi lingkungan dan masyarakat.
Berdasarkan rentetan permasalahan itulah, Dewan Pimpinan Cabang Gerakan mahasiswa nasional Indonesia Kabupaten Jember (DPC GMNI Jember), sebagai organisasi gerakan yang berpihak kepada rakyat dan berasaskan Marhaenisme, memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.
“Kami melihat dengan jelas bahwa kondisi Indonesia semakin terpuruk diakibatkan oleh tindakan tindakan dari pemerintah yang secara jelas melanggengkan kesewenang-wenangan, menabrak konstitusi, dan hanya mementingkan kepentingan investor dari pada kepentingan rakyat,” tegasnya.
Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan tidak lagi mencerminkan semangat yang seharusnya menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.
Tuntutan Indonesia Gelap
Oleh karena itu, dengan penuh kesadaran dan semangat perjuangan, DPC GMNI Jember menyatakan sikap:
- Mendesak Pemerintah untuk mencabut Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Anggaran;
- Mendesak Pemerintah untuk mencabut Revisi Keempat Undang-Undang tentang Minerba yang telah disahkan pada tanggal 18 Februari 2025;
- Mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama menggugat Pemerintahan Prabowo Gibran, karena segala hal yang telah dikeluarkan dalam 100 hari ini tidak hanya bertentangan dengan konstitusi tetapi juga bertentangan dengan amanat penderitaan rakyat. (Rilis)
- Penulis: Rilis DPC GMNI Jember
- Editor: Miftahul Rachman