Nganjuk – Kertosono – Petani Tebu Bersatu (Petebu) menggelar Sarasehan bertajuk “Tantangan Menjelang Musim Giling Tahun 2022” di emplacemen Pabrik Gula Lestari Kecamatan Kertosono Kabupaten Nganjuk, Sabtu (26/03/2022) Siang.
Lebih dari 300 Peserta terdiri dari Petani Tebu dari berbagai wilayah di Jawa Timur.
Menurut Ketua Panitia Penyelenggara Amrosi, dipilihnya emplacemen PG Lestari bukan tanpa alasan, Pabrik gula yang kini tergabung dalam PTPN X itu memiliki riwayat sejarah sebagai pelopor pergerakan Nasional.
“Semangat kejuangan itu yang ingin kita hidupkan kembali, ditengah ketidak jelasan nasib Petani Tebu,’ ujarnya.
PG Lestari, menurut Amrosi berdiri pada tahun 1909. Bertempat di desa Ngrombot Kecamatan Patianrowo Kabupaten Nganjuk Jawa Timur, atas inisiatif RMAA Sosrohadikusumo, Bupati Nganjuk yang memerintah tahun 1901-1923.
Resmi sudah pabrik gula yang dibuka oleh KGPH Hangabehi, putra mahkota Karaton Surakarta Hadiningrat. Kebetulan KGPH Hangabehi menjabat sebagai Pangarsa Dewan Karaton sejak tahun 1905.
“Satu satunya pabrik gula di Indonesia yang pendiriannya atas inisiatif tokoh lokal,. bukan inisitif kolonial Belanda,” ujarnya.
Meski dalam menggerakkan produksinya, kata Amrosi menggunakan investor dari Belanda
“Beliau punya koneksi luas. Investor diajak menanamkan modal. Roda ekonomi berputar teratur. Rakyat pun hidup kecukupan makmur,” ujarnya.
Bertindak selaku Narasumber, Ketua Dewan Pengurus Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (DPN APTRI) Drs Soemitro Samadikoen, memaparkan kondisi petani tebu yang sedang menghadapi permasalahan.
“Saya sudah memperjuangkannya, dengan terus menyampaikan keluhan petani tebu, setidaknya agar terjadi perbaikan ke depan,” ujarnya.
Diantara permasalahan yang mengemuka, selama 6 tahun terahir, kata Soemitro, diantaranya Harga pokok Pembelian (HPP) gula tani yang dipatok sebesar Rp 9.100/Kg atau Harga Eceran Tertinggi (HET) gula tani sebesar Rp 12.500/Kg yang tidak mengalami kenaikan sejak enam tahun terakhir.
“Tentu sangat merugikan petani tebu. Oleh sebab HPP gula tani itu sudah sangat jauh di bawah Biaya Pokok Produksi (BPP) yang saat ini sudah berkisar di angka Rp 11.000/ Kg. Kalau ingin menyejahterakan petani tebu, HPP gula tani semestinya berada di atas BPP.,” Ujarnya.
Itulah sebabnya, kata Soemitro dalam Munas V APTRI, merekomendasikan kepada pemerintah untuk menetapkan HPP sebesar Rp 11.500/Kg. Angka tersebut dianggap wajar agar petani bisa untung dan juga tidak akan memberatkan konsumen gula. Adapun untuk besaran HET APTRI juga mengusulkan Rp 14.000/Kg atau kalau tidak HET dihapus saja.
Masalah lain, menurut Soemitro adalah langkah pemerintah yang tahun ini membuka keran impor gula mentah untuk bahan baku gula rafinasi dan gula konsumsi. Seperti diketahui, pemerintah telah menerbitkan persetujuan impor sekitar 1,13 juta ton terdiri dari gula kristal putih (GKP) dan gula mentah (raw sugar) untuk kebutuhan tahun 2022.
Pembukaan keran impor itu dinilai tidak berdasar pada ketersediaan stok yang masih cukup hingga masa panen pada Mei 2022. APTRI memperkirakan sisa stok gula konsumsi akhir 2021 mencapai 1,1 juta ton yang berasal dari produksi lokal, impor gula, serta potensi kebocoran gula rafinasi industri yang masuk ke pasar gula konsumsi. Dari perhitungan itu semestinya bisa digunakan untuk pemenuhan sampai bulan April 2022 menjelang giling dimulai Mei 2022. Beberapa sentra perkebunan yang diperkirakan masuk panen saat itu terdapat di Jawa Tengah, Jawa Barat, Lampung dan Medan.
Adapun untuk perkiraan produksi gula tebu lokal tahun ini diharapkan minimal 2,2 juta ton. Prediksi cuaca pada tahun ini cukup bagus akan sangat mendukung pertumbuhan tebu.
Di sisi lain, petani tebu mulai beralih ke pupuk non subsidi sehingga tidak tergantung lagi pada pupuk subsidi yang minim stok. Dengan penghitungan produksi itu, total ketersediaan gula akan mencapai lebih dari 3 juta ton dan itu cukup memenuhi kebutuhan setahun penuh.
Soemitro juga menyinggung tentang telah dibubarkannya Dewan Gula Indonesia (DGI) yang biasanya menjadi wadah petani dalam memperjuangkan harga gula.
“Ini yang juga kita sayangkan, meski sudah juga kami coba untuk menyampaikan nya kepada pemerintah, agar Dewan Gula diaktifkan kembali,” tegasnya.
Ditengah keterpurukan Petani, kata Soemitro, pemerintah masih akan memberlakukan PPN (Pajak Pertambahan Nilai).
“Sehingga akan makin menambah beban petanji, ini juga sedang kami perjuangkan, doanya saja,” katanya.
Atas pertimbangan itulah, maka Soemitro berpesan kepada peserta Sarasehan, agar teliti dalam menggunakan hak pilihnya.
“Jangan lagi memilih orang yang tidak jelas keberpihakannya kepada Petani,” tandasnya. (*)