16.1 C
East Java

Bumi Lombok Segumpal Tanah Dari Surga

Loading

Mataram – Bumi Lombok Segumpal Tanah Dari Surga. Pernyataan Ketua Laskar Sasak Lalu Taharudin itu sepertinya menggambarkan fakta tentang Pulau Lombok, yang memiliki kekayaan alam dan nilai – nilai adat begitu dalam.

Perjalanan Jempol sejak hari Minggu (30/01/2022) hingga hari Selasa (01/02/2022) memang belumlah cukup untuk memahami sepenuhnya, tentang kekayaan Suku Sasak. Namun Jempol mencoba menyuguhkan beberapa percakapan dengan para tokoh Sasak.

Bumi Lombok
Caption : Ketua Laskar Sasak Lalun Taharudin

Percakapan Jempol bersama Lalu Taharuddin memang seperti tak ada habisnya, memahami sebuah pulau yang merupakan bagian dari Kekayaan Indonesia yang memiliki keragaman keindahan, penuh dengan misteri.

Pulau Lombok secara administratif merupakan Provinsi NTB, terdiri dari Kabupaten, kecamatan dan desa, dengan jumlah penduduk.

Pulau sarat keindahan Itu dihuni oleh beberapa suku, diantaranya Suku Sasak.

Ikon Lombok yang sudah dikenal adalah Gunung Rinjani, yang menjadi lambang kekuatan spiritual masyarakat suku Sasak.

Gunung Rinjani dengan ketinggian 3726 meter diatas permukaan laut, berdiri tegak dan tertancap kokoh, seolah menunjukkan pada dunia bahwa Lombok masih akan tetap bertahan dari guncangan nilai – nilai global.

“Nilai nilai itulah yang akan terus kami jaga, agar tak tergerus jaman,” ujar Lalu Taharudin.

Meski diakui Lalu Taharuddin, bahwa keinginan sekelompok orang yang bernuansa politis ingin memarginalkan nilai-nilai adat dengan beragam cara.

“Mereka membangun narasi dengan mempertentangkan nilai adat dengan agama,” katanya

Padahal, nilai – nilai yang berkembang dalam masyarakat adat Suku Sasak, meupakan perwujudan dari ajaran Agama Islam, yang tercermin dalam tatanan adat.

“Nilai nilai adat seperti pernikahan dan tata kehidupan masyarakat sehari-hari, adalah tatanan praktis mempraktekkan ajaran agama,” ujarnya.

Dalam perjalanannya menjaga tatanan adat, Lalu Taharudin menyayangkan kedatangan orang ke Pulau Lombok dengan tujuan mengekploitasi kekayaan Pulau Lombok dengan mengabaikan masyarakat adat.

” Kami berharap siapapun yang datang ke pulau Lombok bersedia membangun kompromi bersama masyarakat adat, sebagaimana layaknya tamu, bukan datang kerumah kami dengan kesewenangan,” tegasnya.

Karena bagi Lalu Taharuddin, adat merupakan nilai yang mesti dijunjungnya.

“Kami masih bisa terima jika dinilai bodoh, tetapi kami tidak bisa terima jika dinilai tak tahu adat,” tandasnya.

Menguak Misteri Adat Bumi Lombok 

Sudah lazim, orang juga mengenal Pulau Lombok dengan sebutan Pulau Seribu Masjid, diatas bumi Lombok berdiri banyak masjid yang didirikan dalam jarak tak terlampau jauh.

Tokoh Budayawan Sasak Lalu Shodiqin dalam sebuah kesempatan menuturkan, pertalian kuat antara masyarakat suku Sasak dengan Kerajaan Majapahit, yang jejak masih dapat ditemui dalam karya sastra suku Sasak yang tertulis di lontar

“Jejak itu dapat disimak pada kisah perjalanan Ekspedisi Laksamana Nala yang merambah pulau Lombok,” tuturnya.

Demikian pula dengan tatanan nilai masyarakat Sasak, juga dapat disimak merupakan peninggalan para Wali yang juga telah menanamkan ajarannya di Pulau Lombok.

Menurut Lalu Shodiqin, pengaruh Sunan Prapen dan Sunan Giri tertuang dalam karya sastra Suku Sasak, yang masih disakralkan oleh suku Sasak.

Kekuatan ajaran para wali, masih dapat dilihat terawat dengan baik di Pulau Lombok, seperti keberadaan tiga Masjid tua yang masih terjaga keutuhannya, Masjid Gunung Pujud, Masjid Bayan, dan Masjid Biluk Petung.

“Ketiga masjid tua itu terjaga keutuhannya, dan untuk merombaknya Masyakat Sasak tidak berani,” ujar Lalu Shodikin.

Ajaran agama, menurut Lalu Kana, bersenyawa dalam tataan suku Sasak. Seperti dapat dicermati pada makna tersirat dalam menggunakan pakaian.

“Mulai saja dari cara menggunakan sarung, hingga ikat kepala, semua mengisyaratkan makna,” kata Mik Kana.

Tata cara mengenakan sarung, jelas Mik Kana, bagian kiri berada didalam ditutupi dengan bagian kanan, maknanya senantiasa mengedepankan kebajikan.

“Sedang ujungnya diwiru hingga tujuh kali, yang ujungnya menunjuk bumi, maknanya mengingatkan, bahwa kita semua berasal dari bumi dan akan kembali ke bumi,” ujarnya.

Ikat kepala yang dipakai suku Sasak, kata Mik Kana ujung kanan menjulan ke langit, sedangkan ujung sebelah kiri lebih rendah menunjuk ke bumi.

“Maknanya bahwa tujuan hidup ini senantiasa menuju pada Tuhan, namun tetap tanpa meninggalkan realitas kehidupan di bumi,” jelasnya.

Demikian pula, cara menyembunyikan tangan kiri dibawah tangan kanan, dengan menyatukan telunjuk dengan jempol, sehingga bermakna Allah.

“Juga cara Suku Sasak bersopan santun dalam kehidupan sehari – hari, dengan dijiwai pengabdian kepada Allah,,” ujarnya.

Untuk mengungkap lebih jauh, Mik Kana tidak berani terlalu jauh memberikan penjelasan, karena hawatirkan salah dalam memberikan makna.

“Mik Purnipe barangkali lebih pas, beliau masih menyimpan lontar dalam 13 jilid,” tegasnya.

Kesempatan yang terbatas, jempol belum bisa menggali lebih dalam. Sepintas tentang tatanan adat, H Purnipe yang tinggal di Kecamatan Sembalun, Kabupaten Lombok Timur, menuturkan keprihatirannya atas perkembangan jaman yang dinilainya perlu mendapat perhatian bersama.

Bumi Lombok
Caption : Tokoh Adak Sasak Mamik H Purnipe ( kiri) dan Tokoh Muda Sasak Muhammad Syuhaedi

“Kami menjaga Gunung Rinjani, seperti menjaga anak sendiri, sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Sasak,” ujar H Purnipe.

Sambil mendendangkan Tembang Sasak, H Purnipe berpesan agar masyarakat Suku Sasak tidak meninggalkan ajaran para sesepuh, yang telah diajarkan secara turun temurun.

“Jika ingin selamat dunia aherat, maka jaga pikiran, jaga berbicara dan jaga sikap,” ucapnya dalam bahasa suku Sasak.

Seorang tokoh muda adat Sasak, Muhammad Syuhaedi, juga menuturkan bahwa bagi suku sasak, wajib mengamalkan Pandite Telu, sebuah ajaran tentang cinta kepada Tuhan, Cinta kepada manusia dan cinta kepada alam.

“Sebagaimana agama juga mengajarkan habblum minallah, Hablum minannas dan Hablum minal alam,” ujarnya. (#)

Loading

Mataram – Bumi Lombok Segumpal Tanah Dari Surga. Pernyataan Ketua Laskar Sasak Lalu Taharudin itu sepertinya menggambarkan fakta tentang Pulau Lombok, yang memiliki kekayaan alam dan nilai – nilai adat begitu dalam.

Perjalanan Jempol sejak hari Minggu (30/01/2022) hingga hari Selasa (01/02/2022) memang belumlah cukup untuk memahami sepenuhnya, tentang kekayaan Suku Sasak. Namun Jempol mencoba menyuguhkan beberapa percakapan dengan para tokoh Sasak.

Bumi Lombok
Caption : Ketua Laskar Sasak Lalun Taharudin

Percakapan Jempol bersama Lalu Taharuddin memang seperti tak ada habisnya, memahami sebuah pulau yang merupakan bagian dari Kekayaan Indonesia yang memiliki keragaman keindahan, penuh dengan misteri.

Pulau Lombok secara administratif merupakan Provinsi NTB, terdiri dari Kabupaten, kecamatan dan desa, dengan jumlah penduduk.

Pulau sarat keindahan Itu dihuni oleh beberapa suku, diantaranya Suku Sasak.

Ikon Lombok yang sudah dikenal adalah Gunung Rinjani, yang menjadi lambang kekuatan spiritual masyarakat suku Sasak.

Gunung Rinjani dengan ketinggian 3726 meter diatas permukaan laut, berdiri tegak dan tertancap kokoh, seolah menunjukkan pada dunia bahwa Lombok masih akan tetap bertahan dari guncangan nilai – nilai global.

“Nilai nilai itulah yang akan terus kami jaga, agar tak tergerus jaman,” ujar Lalu Taharudin.

Meski diakui Lalu Taharuddin, bahwa keinginan sekelompok orang yang bernuansa politis ingin memarginalkan nilai-nilai adat dengan beragam cara.

“Mereka membangun narasi dengan mempertentangkan nilai adat dengan agama,” katanya

Padahal, nilai – nilai yang berkembang dalam masyarakat adat Suku Sasak, meupakan perwujudan dari ajaran Agama Islam, yang tercermin dalam tatanan adat.

“Nilai nilai adat seperti pernikahan dan tata kehidupan masyarakat sehari-hari, adalah tatanan praktis mempraktekkan ajaran agama,” ujarnya.

Dalam perjalanannya menjaga tatanan adat, Lalu Taharudin menyayangkan kedatangan orang ke Pulau Lombok dengan tujuan mengekploitasi kekayaan Pulau Lombok dengan mengabaikan masyarakat adat.

” Kami berharap siapapun yang datang ke pulau Lombok bersedia membangun kompromi bersama masyarakat adat, sebagaimana layaknya tamu, bukan datang kerumah kami dengan kesewenangan,” tegasnya.

Karena bagi Lalu Taharuddin, adat merupakan nilai yang mesti dijunjungnya.

“Kami masih bisa terima jika dinilai bodoh, tetapi kami tidak bisa terima jika dinilai tak tahu adat,” tandasnya.

Menguak Misteri Adat Bumi Lombok 

Sudah lazim, orang juga mengenal Pulau Lombok dengan sebutan Pulau Seribu Masjid, diatas bumi Lombok berdiri banyak masjid yang didirikan dalam jarak tak terlampau jauh.

Tokoh Budayawan Sasak Lalu Shodiqin dalam sebuah kesempatan menuturkan, pertalian kuat antara masyarakat suku Sasak dengan Kerajaan Majapahit, yang jejak masih dapat ditemui dalam karya sastra suku Sasak yang tertulis di lontar

“Jejak itu dapat disimak pada kisah perjalanan Ekspedisi Laksamana Nala yang merambah pulau Lombok,” tuturnya.

Demikian pula dengan tatanan nilai masyarakat Sasak, juga dapat disimak merupakan peninggalan para Wali yang juga telah menanamkan ajarannya di Pulau Lombok.

Menurut Lalu Shodiqin, pengaruh Sunan Prapen dan Sunan Giri tertuang dalam karya sastra Suku Sasak, yang masih disakralkan oleh suku Sasak.

Kekuatan ajaran para wali, masih dapat dilihat terawat dengan baik di Pulau Lombok, seperti keberadaan tiga Masjid tua yang masih terjaga keutuhannya, Masjid Gunung Pujud, Masjid Bayan, dan Masjid Biluk Petung.

“Ketiga masjid tua itu terjaga keutuhannya, dan untuk merombaknya Masyakat Sasak tidak berani,” ujar Lalu Shodikin.

Ajaran agama, menurut Lalu Kana, bersenyawa dalam tataan suku Sasak. Seperti dapat dicermati pada makna tersirat dalam menggunakan pakaian.

“Mulai saja dari cara menggunakan sarung, hingga ikat kepala, semua mengisyaratkan makna,” kata Mik Kana.

Tata cara mengenakan sarung, jelas Mik Kana, bagian kiri berada didalam ditutupi dengan bagian kanan, maknanya senantiasa mengedepankan kebajikan.

“Sedang ujungnya diwiru hingga tujuh kali, yang ujungnya menunjuk bumi, maknanya mengingatkan, bahwa kita semua berasal dari bumi dan akan kembali ke bumi,” ujarnya.

Ikat kepala yang dipakai suku Sasak, kata Mik Kana ujung kanan menjulan ke langit, sedangkan ujung sebelah kiri lebih rendah menunjuk ke bumi.

“Maknanya bahwa tujuan hidup ini senantiasa menuju pada Tuhan, namun tetap tanpa meninggalkan realitas kehidupan di bumi,” jelasnya.

Demikian pula, cara menyembunyikan tangan kiri dibawah tangan kanan, dengan menyatukan telunjuk dengan jempol, sehingga bermakna Allah.

“Juga cara Suku Sasak bersopan santun dalam kehidupan sehari – hari, dengan dijiwai pengabdian kepada Allah,,” ujarnya.

Untuk mengungkap lebih jauh, Mik Kana tidak berani terlalu jauh memberikan penjelasan, karena hawatirkan salah dalam memberikan makna.

“Mik Purnipe barangkali lebih pas, beliau masih menyimpan lontar dalam 13 jilid,” tegasnya.

Kesempatan yang terbatas, jempol belum bisa menggali lebih dalam. Sepintas tentang tatanan adat, H Purnipe yang tinggal di Kecamatan Sembalun, Kabupaten Lombok Timur, menuturkan keprihatirannya atas perkembangan jaman yang dinilainya perlu mendapat perhatian bersama.

Bumi Lombok
Caption : Tokoh Adak Sasak Mamik H Purnipe ( kiri) dan Tokoh Muda Sasak Muhammad Syuhaedi

“Kami menjaga Gunung Rinjani, seperti menjaga anak sendiri, sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Sasak,” ujar H Purnipe.

Sambil mendendangkan Tembang Sasak, H Purnipe berpesan agar masyarakat Suku Sasak tidak meninggalkan ajaran para sesepuh, yang telah diajarkan secara turun temurun.

“Jika ingin selamat dunia aherat, maka jaga pikiran, jaga berbicara dan jaga sikap,” ucapnya dalam bahasa suku Sasak.

Seorang tokoh muda adat Sasak, Muhammad Syuhaedi, juga menuturkan bahwa bagi suku sasak, wajib mengamalkan Pandite Telu, sebuah ajaran tentang cinta kepada Tuhan, Cinta kepada manusia dan cinta kepada alam.

“Sebagaimana agama juga mengajarkan habblum minallah, Hablum minannas dan Hablum minal alam,” ujarnya. (#)

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Berita Populer