– Perlu Peraturan Pilkades Yang Mengikat
JEMBER – JEMPOL – Pilkades, merupakan pintu awal membangun komitmen cegah korupsi. Sebentar lagi 59 Desa se kabupaten Jember, akan menggelar serentak, pelaksanaannya pada bulan agustus 2021 mendatang.
Untuk kepentingan pembiayaannya, Pemkab Jember mengalokasikan dari APBD 2021, yang nilainya bergantung pada Daftar Pemilih Sementara (DPS). Kebijakan itu, juga merupakan upaya menekan besarnya biaya pilkades yang bisanya Calon Kades yang menanggungnya, kini sudah bisa gratis.
Bupati Jember Ir H Hendy Siswanto, pada kesempatan Rapat Konsolidasi dengan Kepala Desa, Lurah dan Camat Sekabupaten Jember, Kamis (8/4/2021), menyatakan pilkades yang dibiayai APBD 2021, bertujuan agar setiap warga desa memiliki kesempatan sama untuk ikut kontestasi pilkades.
“Ayo jadikan Pilkades ini mudah, jujur, aman dan adil,” harapnya.
Karenanya, upaya pemerintah menanggung pembiayaan pilkades, juga merupakan salah satu upaya menekan maraknya penyimpangan yang sering terjadi, akibat kepala desa terpilih terbebani hutang biaya pilkades.
Meski, biaya pilkades gratis, sebenarnya belum mampu mencegah kemungkinan terjadinya korupsi, dan penyalah gunaan jabatan, yang menguntungkan pribadi.
Biaya Pilkades Tinggi
Untuk mengetahui lebih dalam, jempolindo.id menghimpun data, perihal faktor penyebab besarnys biaya yang masih harus ditanggung Cakades. Hasilnya, cukup mengejutkan, untuk bisa memenangkan pertarungan pilkades, cakades setidaknya harus menyediakan sejumah uang, hingga mencapai ratusan juta rupiah, atau kalau mengkonversi total biayanya dengan suara pemilih, bisa kisaran 100.000 hingga Rp 300.000 per suara.
Sedangkan kepala desa hanya mendapatkan gaji sebesar kisaran Rp 3,5 juta perbulan, karenanya selama 5 tahun masa jabatan, kades hanya menerima sekitar Rp 210 juta. Sementara ketika menjadi cakades, harus mengeluarkan ongkos sebesar Rp 300 – 500 juta. Artinya, kades masih harus menanggung hutang sebesar 100 hingga 200 juta.
Kondisi itu, menyebabkan Kades terpilih harus mencari jalan lain, untuk menutup tanggungannya, bisa jadi ahirnya menggunakan jabatannya untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Sebenarnya, praktek pilkades dengan cara itu, sudah masuk katagori politik uang, hanya saja masalahnya belum ada aturan pasti yang mengikat terjadinya politik uang pada ajang gelaran pilkades.
Permainan Penjudi
Pilkades selama ini, masih sulit menberantas perjudian, maraknya praktek perjudian itu juga merupakan factor penyebab, sulitnya menghindari politik uang. Biasanya para penjudi, sudah memainkan peta suara sejak Cakades berniat mencalonkan diri.
Penjudi, biasanya sudah melakukan survey awal, guna mengetahui elektabilitas bakal cakades, yang dari hasil survey awal untuk mengetahui tingkat popularitas dan elektabilitasnya. Dari hasil itu, biasanya penjudi menyodorkan kepada bakal calonnnya, untuk menjadi bahan pertimbangan tetap melanjutkan kompetisi atau mundur.
Seorang Bakal Cakades yang suaranya menguat, juga belum tentu bisa memenangkan pertarungan. Evaluasi penjudi, bisa menjadi sandaran untuk mengatur strategi berikutnya, suka tidak suka bakal cakades harus menyediakan sejumlah uang, untuk mempengaruhi pemilik suara.
Demikian juga, bagi Bakal Cakades yang memiliki jumlah suara cenderung menguat, tetapi kekurangan uang untuk biaya, maka penjudi juga akan menawarkan sejumlah uang, tentu saja dengan kompensasi, jika kelak memang pilkades, akan mengganti dengan Sewa bengkok, yang harganya murah, atau kompensasi proyek pembangunan desa.
Maka praktek perjudian itulah, yang telah membuka celah, terjadinya Kepala Desa melakukan tindakan korupsi dan penyalahgunaan wewenangnya, hingga berani melanggar sumpah jabatan.
Sosiologis Pemilik Suara :
Rakyat sebagai pemilik suara, tampaknya sudah semakin cerdas, menggunakan kedaulatannya untuk menukar dengan sejumlah uang, yang tidak sebanding dengan kerugian yang harus ditanggungnya.
Pejabat yang kurang komitmen dengan jabatannya membuat rakyat terus menerus mengalami sakit politik, sehingga cenderung memilih keputusan pendek, menukar suaranya dengan uang recehan.
Rakyat cenderung apatis terhadap janji politik, karena kalaupun kelak cakades terpilih, juga akan melakukan praktek yang menyakitkan hati rakyat.
Konspirasi Yang TSM :
Menyeruaknya adanya Konspirasi yang terstrutur, sistematis dan massive dari para pemangku kebijakan, baik Camat, Pj Kades, BPD dan pemangku lainnya, memang susah membuktikannya. Orang hanya menduga dari praktek transparansi dengan tertutupnya informasi, bahkan cenderung menyesatkan masyarakat.
Kalaupun dugaan itu benar, maka membuat semakin memburuknya praktek demokrasi pilkades. Konspirasi itu, akan tampak sejak dari pembentukan panitia pilkades, yang kurang memenuhi ketentuan, hingga yang paling buruk, panitia pilkades hanya dibentuk oleh sekelompok kecil saja, yang mereka punya kepentingan mendukung salah satu bakal calon kades.
Sebagai contoh, praktek pembentukan Panitia Pilkades di Desa Banjarsari dan Desa Tugusari Kecamatan Bangsalsari, meski rakyat banyak mengeluhkan dan sudah melancarkan protes melalui berbagai saluran, tetapi pembentukan pantia pilkades yang diduga sarat konspirasi itu tetap jalan terus.
Sudah barang tentu, perbuatan jahat itu justru memperparah sakit politik rakyat, dan semakin menambah keputus asaan publik.
Melihat buruknya praktek pilkades, rakyat bukan diam, mereka sudah menggunakan semua saluran, polisi, jaksa hingga jalur politik, mereka sudah menempuhnya, tetapi semua seolah tak bergeming.
Perlu Aturan Tegas :
Karenanya, untuk menghindari terjadinya kepemimpinan desa yang semakin kurang amanah, memerlukan aturan main yang tegas dan aplikatif. DPRD, Bupati, Forkompimda dipandang duduk bersama guna menggodog peraturan yang sekiranya mampu meminimalisir terjadinya praktek pilkades yang hanya akan melahirkan kepemimpinan yang cenderung menyakiti hati rakyat.
Mengurangi segala resiko konfik, Ketua Komisi A DPRD Jember, Tabroni meminta panitia menggelar secara fair dengan mengikuti peraturan yang ada, sejak tahapan pembentukan panitia Pilkades. Jumat (30/4/2021).
“Aturan main harus jelas. juga harus bersikap netral, idealnya begitu,” ujar Tabroni
Komisi A DPRD Jember memiliki kewenangan pengawasan desa, bermitra dengan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa. Karenanya, pelaksanannya menjadi fokus pengawasan Komisi A.
“Pelaksanaannya harus secara matang. Masyarakat di 59 desa yang akan menggelar juga harus tahu aturan main Pilkades,” tegas Tabroni. (*)