Kasus Kekerasan Seksual Terduga Pelaku Dosen Unej Ditanggapi Gauri Movement

Kekerasan seksual
Ketua Lembaga Kajian Studi Gender GAURI MOVEMENT Deviana Rizka R

Jember _ Jempol _ Masih soal kasus kekerasan seksual anak dibawah umur yang terjadi di Jember, berinisial Nada dengan terduga pelaku seorang dosen Universitas Negeri Jember berinisial RH, ditanggapi Lembaga Kajian Studi Gender Jember  GAURI MOVEMENT, melalui peryataan sikapnya yang ditanda tangani Ketua  Ketua Gauri Movement Deviana Rizka R  dan  Sekretaris Gauri Movement Luthfiona Fitri. Selasa (13/04/2021).

Menurut Deviana, bersandar pada berita yang beredar melalui media massa (06/04/2021) kekerasan seksual yang diduga dilakukan RH berdalih Nada mengidap kanker payudara.

“Modusnya, RH berpura – pura  melakukan terapi kepada korban,  Tindakan pencabulan dilakukan hingga dua kali dalam keadaan rumah yang sepi,” kata Deviana.

Atas kasus kekerasan seksual berupa pencabulan yang dialami  Nada, maka Gauri Movement sebagai lembaga yang bergerak dibidang studi gender menyatakan sikap sebagai berikut:

  1. Mendesak Kepolisian Resor Jember untuk segera menyelesaikan kasus tindak pencabulan tersebut sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang berlaku (Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak);
  2. Mendorong Universitas Negeri Jember untuk memberikan sikap yang tegas kepada pelaku berupa penonaktifan sebagai dosen;
  3. Mendorong Universitas Negeri Jember untuk membuat regulasi tentang kekerasan seksual.

Lebih lanjut Deviana menambahkan, Kekerasan seksual merupakan tidakan yang telah mencederai nilai-nilai kemanusiaan. Kasus – kasus kekerasan seksual tidak memandang gender maupun usia.

Mengutip pernyataan Asisten Deputi Perumusan Kebijakan Perlindungan Hak Perempuan Ali Khasan yang mengatakan, sejak 1 Januari sampai 16 Maret 2021, ada 426 kasus kekerasan seksual dari 1.008 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

“Data tersebut berdasarkan hasil pelaporan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni-PPA),” kata Deviana.

Gauri Movement menaruh perhatian serius terhadap pelecehan seksual terhadap perempuan, yang  tidak lagi hanya dipandang sebagai masalah antar individu belaka, melainkan merupakan problem sosial yang terkait dengan masalah hak-hak asasi manusia, khususnya yang berkaitan dengan perlindungan dari segala bentuk penyiksaan, kekerasan, kekejaman, dan pengabaian martabat manusia.

“’Karenanya kami memandang perlunya memberi perlindungan hukum (pidana) bagi perempuan dari perilaku pelecehan seksual, karena perilaku ini menyerang hak fundamental yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi dan bisa menimbulkan gangguan rasa aman dalam melakukan hubungan seksual,” tegas Deviana.

Deviana berpendapat, penanganan yuridis kasus-kasus pelecehan seksual selama ini mengalami hambatan,  menyangkut rumusan tindak pidana (delik)  dalam pasal-pasal yang belum tegas, pembuktian dalam hukum acaranya, dan sifatnya yang sebagian sebagai delik aduan.

“Disamping itu secara viktimologis, hukum pidana kita belum mengakomodasi perlindungan korban secara memadai, sehingga dalam kasus pelecehan seksual yang menjadi korban cenderung kaum wanita,” tuturnya.

Menyitir refleksi  Konvensi Hak Anak Pasal 34 “Semua anak mempunyai hak untuk dilindungi dari kekerasan dan eksploitasi seksual, termasuk prostitusi dan keterlibatan dalam pornografi

Kata Deviana, Gauri Movemen meniai pasal tersebut belum  seirama dengan realita,  karena semakin banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi di dunia pendidikan yang rata-rata terjadi pada anak, hal tersebut menjelaskan bahwa dunia pendidikan tengah mengalami degradasi moral.

“Bukannya mendidik, banyak oknum dosen atau guru di berbagai kampus di Indonesia, mengatasnamakan kedudukan dan kekuasaannya, untuk mengancam dan melemahkan para mahasiswa dan/atau siswa yang ia jadikan sebagai objek pemuas hasrat,” tandasnya.

Marakanya tindakan kekerasan seksual, menurut kajian  Gauri Movement,  ditunjang dengan lemahnya regulasi dalam kampus atau instansi pendidikan yang membuat para oknum pendidik  menjadikan dirinya sebaga raja yang kebal hukum dan leluasa melakukannya.

“Sampai hari ini  tidak ada prosedur hukum yang jelas untuk menangani kasus kekerasan dan pelecehan seksual di dalam kampus,” keluhnya. (*)

 

Table of Contents
Exit mobile version