Jember – DPC GMNI Jember mendesak Presiden Joko Widodo untuk mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik PT Agtika Dwi Sejahtera (ADS). Pernyataan itu disampaikan melalui pers reales DPC Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kabupaten Jember , Minggu (09/01/2022).
Diketahui, PT ADS merupakan peruhasaan pertambangan yang rencananya akan beroperasi di Desa Paseban Kecamatan Kencong, yang mengklaim telah mengantongi Ijin Usaha Pertambangan.
Pernyataan resmi DPC GMNI Jember yang ditandatangani Ketua DPC GMNI Jember Dyno Suryandoni dan Sekretaris DPC GMNI Jember Yuyun Nur Robikhah, meminta aga pemerintah transparan atas tata kelola Sumber Daya Alam (SDA) agar ada pemerataan, transparan dan adil untuk mengoreksi ketimpangan, ketidakadilan dan kerusakan alam. Kalimat tersebut adalah upaya pemerintah untuk mengevaluasi izin pertambangan, kehutanan, dan penggunaan lahan negara.
Hal itu terkait dengan kebijakan pemerintah yang telah mencabut ribuan izin yang tidak dijalankan, tidak produktif, dan dialihkan kepada pihak lain, serta yang tidak sesuai dengan peruntukan dan peraturan.
“Setidaknya 2.078 Izin Usaha Pertambangan (IUP) mineral dan batu bara yang dicabut pada tanggal 06 Januari 2022. Pemerintah juga mencabut 192 izin sektor kehutanan. Selain itu Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan yang diterlantarkan seluas 34.448 Hektar juga ikut dicabut oleh pemerintah,” jelas Dyno.
GMNI Jember menyitir Keputusan Presiden Joko Widodo yang disampaikan dalam konferensi pers RI tentang IUP, HGU, dan HGB, di Istana Bogor. Konferensi pers tersebut, kata Dyno telah ditayangkan melalui akun Youtube milik Sekretariat Presiden.
Menurut Dyno, setidaknya selain menyebutkan ribuan jumlah izin yang dicabut ada dua poin penting yang disampaikan, diantaranya :
Pertama, izin dicabut karena setelah izin diberikan tidak segera dijalankan. Dengan demikian Sumber Daya Alam (SDA) yang seharusnya segera dimanfaatkan justru terlantar dan tidak produktif.
“Hal ini dinilai sama dengan menyandera peningkatan kesejahteraan rakyat. Sebagai jalan keluar pemerintah membuka lebar kesempatan kepada kelompok masyarakat dan organisasi sosial keagamaan untuk mengambil manfaat dengan mengelola aset negara tersebut.,” katanya.
Namun, lanjut Dyno pemerintah juga menginginkan adanya kolaborasi. Kolaborasi yang dimaksud adalah kemitraan antara perusahaan yang kredibel dan berpengalaman dengan kelompok masyarakat dan organisasi sosial keagamaan.
“Pada penutup konferensi pers tersebut Presiden Joko Widodo mempersilahkan kepada seluruh perusahaan kredibel dan memiliki rekam jejak yang baik untuk berinvestasi,” tuturnya.
Memang poin penting pertama tersebut, menurut Dyno sekilas terasa menyenangkan. Namun sesungguhnya keputusan pencabutan izin tersebut tidak lebih dari sekedar penertiban.
“Artinya perusahaan pemegang IUP yang bermasalah hanya akan ditertibkan kemudian diganti dengan perusahaan lainnya. Sementara untuk rakyat (dalam hal ini kelompok masyarakat dan organisasi sosial keagamaan) yang diperbolehkan mengelola aset negara memiliki syarat tetap bermitra dengan perusahaan,” tandasnya.
Kajian mendalam yang dilakukan pemerintah untuk mencabut izin yang tidak segera dijalankan, menurut kajian GMNI Jember patut dipertanyakan. Sudah sejauh mana kajian tersebut dilakukan apabila masih ada perusahaan yang lepas dari pengawasan dan penertiban.
Sepertinya, menurut Dyno, sampai saat ini Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik PT Agtika Dwi Sejahtera (ADS) tidak dicabut oleh pemerintah. Izin Usaha Pertambangan (IUP) ini terbit pertama kali sejak tahun 2009 namun hingga hari ini perusahaan tersebut belum melakukan kegiatan pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA).
Bagi pemerintah ini tentu dianggap sebagai bentuk penelantaran SDA. Penelantaran SDA berarti bentuk ketidak produktifan.
“Namun yang harus dipahami, PT ADS tidak dapat beroperasi hingga hari ini karena penolakan yang dilakukan warga Desa Paseban. Dengan demikian pernyataan bahwa kolaborasi antara rakyat dan perusahaan dapat meningkatkan kesejahteraan telah gugur,” ujarnya.
Penertiban izin perusahaan membawa kepada poin penting evaluasi yang selanjutnya. Poin penting kedua adalah izin dicabut karena tidak sesuai dengan peruntukan dan peraturan. Peruntukan kegiatan ekstraktif adalah demi kesejahteraan rakyat. Namun untuk siapakah kesejahteraan apabila rencana kegiatan ekstraktif ditolak oleh masyarakat di Desa Paseban.
Rencana penambangan pasir besi oleh PT. ADS di Desa Paseban dianggap akan mampu menciptakan lapangan pekerjaan baru. Sementara kesejahteraan bagi masyarakat Desa Paseban tidak melulu soal lapangan pekerjaan. Selama ini aktivitas pertanian dan pemanfaatan sektor bahari sudah cukup mensejahterakan mereka. Sumber penghidupan dari sektor bahari bagi masyarakat Desa Paseban tidak hanya dari hasil laut.
Aktivitas pariwisata bahari yang sudah berjalan selama ini menjadi sumber penghidupan lain di Desa Paseban. Namun sampai saat ini belum dikelola dengan baik. Pengelolaan dan pemanfaat SDA berbasis pariwisata seharusnya menjadi opsi dan jalan tengah untuk meningkatkan kesejahteraan.
Selain akan melibatkan masyarakat banyak, aktivitas ekonomi seperti ini dinilai lebih ramah lingkungan. Sumber Daya Alam (SDA) yang produktif memang menguntungkan. Tetapi apabila kegiatan pemanfaatan SDA justru mengancam ruang hidup masyarakat maka krisis sosial dan ekologis tidak akan terhindarkan.
Dengan uraian kedua poin di atas, pencabutan izin dilakukan hanya semata-mata untuk menertibkan perusahaan bukan sedang mengoreksi ketimpangan, ketidakadilan dan kerusakan lingkungan alam.
Terbukti izin PT. ADS tetap belum dicabut hingga saat ini. Padahal kegiatan ekstraktif nantinya akan melahirkan tiga hal (ketimpangan, ketidakadilan dan kerusakan lingkungan alam) yang sedang dikoreksi oleh pemerintah.
Dengan demikian setidaknya ada tiga pertanyaan yang dapat disimpulkan dari keputusan tersebut, Pertama, tata kelola Sumber Daya Alam (SDA) diperuntukkan kepada siapa. Mengingat pemerintah menganggap rakyat tidak cukup kredibel dan berpengalaman menentukan nasibnya sendiri (Self-determination).
Pemerintah tetap lebih percaya kesejahteraan hanya akan dicapai apabila rakyat berkolaborasi dengan perusahaan. Sementara di Desa Paseban kolaborasi selamanya tidak akan pernah berhasil jika orientasinya adalah pertambangan. Kedua,
“Peningkatan kesejahteraan diperuntukan siapa. Sedangkan yang terjadi di Desa Paseban konflik sosial justru tidak terelakan,” katanya.
Izin juga tidak dicabut yang mensyaratkan seolah-olah kegiatan ekstraktif merupakan satu-satunya cara peningkatan kesejahteraan.
“Kerusakan alam yang seperti apa yang dikoreksi oleh pemerintah. Apabila di Desa Paseban masyarakat jauh lebih percaya bahwa yang merusak lingkungan adalah kegiatan ekstraktif pertambangan,” pungkasnya. (*)