Jember _ Jempolindo.id – “Terbentuknya hoax bisa terjadi dari kurangnya informasi hingga adanya misinformasi antara penyelenggara dan masyarakat, sehingga disinilah peran penyelenggara beserta media massa dalam mengantisipasi hoaks,” ujar Imam Thobroni Pusaka ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jember.
Baca juga: Perlunya Sarana Memadai Agar Pemilu 2024 Ramah Disabilitas
Pernyataan Thobroni disampaikan pada sambutannya, saat membuka acara Sosialisasi Pengawasan Partisipatif Peran Media Massa Dalam Mengantisipasi Informasi dan Politisasi Sara di Masyarakat Jember. Bertempat di Hotel Aston pada tanggal 13 Desember 2022.
Acara tersebut menghadirkan tiga pemateri yang berasal dari praktisi media hingga aktivis disabilitas.
Dibuka oleh Wildan Alfarizi, Wartawan Jempolindo.id, selaku moderator dalam acara tersebut.
Wildan melontarkan beberapa pertanyaan berdasar pada keresahan terhadap minimnya literasi masyarakat dan media sosial dengan informasi yang tidak kredibel mulai menyaingi media massa.
Jempolindo _ Sikap Masyarakat Cuek
Menurut Sulam, Kabiro Expos Media Jawa Timur. Hoax sulit dibendung mengingat perkembangan masyarakat dalam mengakses informasi di wilayah manapun kini semakin mudah “97% populasi indonesia 1 orang bisa mempunyai 1-4 gadget.
“Serta seringnya masyarakat mengakses internet apalagi internet sudah masuk desa ini semakin mempermudah masyarakat dalam mengakses informasi” ujarnya.
Sikap peduli masyarakat yang minim dan cenderung menelan mentah-mentah terhadap informasi yang beredar akan menimbulkan konflik
“Politisasi sara yang subur di tahun politik akan menjadi konflik sosial, apalagi sikap masyarakat ketika mendapat informasi dan dengan mudahnya share tanpa memeriksa akan meledakkan konflik” tambahnya.
Bedanya Informasi dan Karya Jurnalistik
Mengenai kredibilitas informasi, Wakil Ketua PWI Jember Yakub Muliyono menjelaskan bahwa ada perbedaan antara Informasi dan Produk Jurnalistik, diantaranya adanya sop dan kode etik yang mengatur sehingga informasi yang disuguhkan dapat dipertanggungjawabkan.
“informasi awal yang diproses menjadi produk jurnalistik perlu adanya konfirmasi yang diperoleh dari narasumber yang kompeten atau kredibel,” jelasnya
“informasi yang beredar ketika tidak diproses akan menjadi informasi liar” tambahnya
Lebih lanjut, lagi Yakub Mulyono berpesan kepada seluruh awak media yang hadir untuk memerangi hoax dengan cara mengikuti Uji Kompetensi Wartawan untuk menjaga kredibilitas dan kepercayaan publik.
“Kualitas SDM menjadi penting untuk dilihat salah satu caranya adalah dengan mengikuti UKW,” tegasnya.
Menurutnya, narasumber berhak menanyakan kartu pers serta kartu ukw ketika ada wartawan yang ingin mewawancarainya untuk menjaga pertanggungjawaban pencatutan informasi dan sebagai tanda kompetensi.
“kartu pers sebagai tanda di media mana informasi akan dicatutkan, lalu narsum (narasumber) juga berhak menanyakan kartu ukw untuk melihat kompetensi wartawan tersebut, tapi bukan berarti wajib menolak jika tidak ada, tidak seekstrim itu,” jelasnya.
Penyandang Disabilitas Punya Hak Politik
Tidak cuma isu hoax dan sara yang berkembang ketika mendekati tahun politik, isu disabilitas juga tidak luput menjadi bagian
Seperti yang diujarkan oleh salah satu aktivis disabilitas di kabupaten jember, Asrorul Mais.
“Isu disabilitas cenderung tidak terlalu diperhatikan, mengingat 15% jumlah masyarakat menurut data WHO adalah penyandang disabilitas”
Asrorul juga menyayangkan ketika isu disabilitas tidak pernah mendapat perhatian khusus dalam naungan kekuasaan.
“selama ini isu disabilitas tidak pernah menjadi isu pokok, hanya isu sambilan, 1 bulan isu diangkat lalu hilang begitu saja, dan kenapa tidak dijadikan program kerja inti pemerintah, pemerintah daerah misal,” ujarnya.
Asrorul berpendapat dalam masyarakat semua harus mendapatkan bagian yang sama, dan meninggalkan pola pikir yang membatasi, ia pun mengibaratkan pandangan masyarakat terhadap disabilitas sama seperti patriarki yang membatasi perempuan.
“berbicara disabilitas sama seperti patriarki, ada hal-hal yang membatasi kita, padahal kita juga berhak dalam mendapatkan hak yang sama, memilih dipilih mungkin juga menjadi panitia,” tegasnya.
Menurutnya para penyandang disabilitas juga harus mendapatkan hak yang sama dalam demokrasi di Indonesia, yakni memilih dan dipilih.
“kalo boleh kritis, contoh, aturan DPR mewajibkan mencalonkan 30% wanita, kenapa tidak untuk mencalonkan disabilitas 5% saja, misal,” katanya
Mendekati akhir segmen, Asrorul mengajak masyarakat untuk memainstreaming disabilitas, sehingga masyarakat menjauh dari pola pikir ableisme, agar masyarakat juga mempunya hak untuk mencalonkan diri.
“kita pernah punya presiden disabilitas, Gus Dur, yang kebetulan seorang tokoh agama terkenal, kita harus membiasakan dan menerima disabilitas menjadi hal biasa yang positif,” katanya.
“kekurangan kita cuma casing, dan kita juga ingin memberi sumbangsih pikiran, dan mindset yang terbentuk kepada kita bukan belas kasih,” tambahnya. (Gilang)