Jember – Banjarsari – Jempolindo.id – Ki Berkong Morojoyo yang mulai sepuh, merasa harus mundur dari jabatannya sebagai Kepala Desa Duko Banjarsari Kecamatan Bangsalsari Jember. Seorang cucunya bernama Abdul Rahman, sudah dipersiapkannya, dengan mula – mula menjadikannya sebagai Sekretaris Desa (Carik).
Situasi sedang tidak menentu, namun Abdul Rahman, meski hanyalah lulusan Sekolah Rakyat Kelas 5, yang diberi tanggung jawab sebagai Sekdes, mencoba menata administrasi Desa Banjarsari, sehingga menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Nama kecilnya Bukat, sedangkan sebutan Abdul Rahman merupakan pemberian gurunya, K Siraj, pengasuh Ponpes di Bangsalsari.
Pada tahun 1938, dalam usianya yang masih belasan tahun (17), Abdul Rahman mengikuti pemilihan kepala desa pertama, yang kemudian dikukuhkan menjadi Kepala Desa Banjarsari ke-2, dengan julukan Abdul Rahman Moroatmojo.
Ditengah situasi yang kacau, karena kedatangan tentara Jepang, Abdul Rahman berusaha menanggulangi permasalahan rakyat yang kesulitan mendapatkan sandang dan pangan.
Rakyat banyak yang menggunakan karung goni, sekedar untuk menutupi pakaiannya, sehingga tidak sedikit diantara mereka yang menderita penyakit kulit.
Demikian pula, rakyat juga kesulitan mendapatkan bahan pangan, sehingga sebagian besar harus bertahan dengan makan batang pisang.
Ditengah kesulitan itu, tentara Jepang malah merampok hasil panen rakyat. Jepang memberlakukan jam malam, warga desa wajib mematikan lampu penerangan, jika malam sudah tiba.
Pemberlakuan jam malam itu, ternyata untuk memudahkan tentara Jepang membawa hasil panen rakyat.
Tiga tahun (1942 – 1945) masa penjajahan Jepang dilalui dengan penuh duka, Namun, atas titah para gurunya, Abdul Rahman memiliih bergabung bersama tentara PETA bentukan Jepang, sebagai sebuah strategi.
Hingga Penjajahan Jepang berakhir, pada tahun 1945 Indonesia Merdeka, pasukan PETA dibubarkan, lalu berganti Badan Keamanan Rakyat (BKR).
Pada tahun 1947, Abdul Rahman menikahi seorang gadis bernama Supini, putra dari Sihabudin, Kepala Desa Tugusari Kecamatan Bangsalsari.
Terdengar kabar, pasukan Belanda kembali bergerak dari Banyuwangi, hingga berhasil menaklukkan kota Jember.
TNI mulai melancarkan perang gerilya, mengingat perlawanan secara langsung dirasakan sulit dilakukan.
Abdul Rahman, kembali bergabung melakukan perjuangan gerilya, hingga mengikuti seorang tokoh bernama Letkol Mohammad Seroedji, yang kemudian bersamanya melakukan perlawanan terhadap penjajah kolonial. (1948).
Untuk sementara, jabatan Kepala Desa dilanjutkan Kakak Kandungnya, Ahmad Rifai, yang sebelumnya menjadi Sekretaris Desa.
Istrinya yang sedang mengandung ditinggalkannya, untuk membantu perang gerilya.
Dalam pertemuannya dengan Letkol Moh Seruji, Abdul Rahman menceritakan bahwa dia meninggalkan istrinya yang sedang hamil.
Saat itu Letkol Moh Seruji berpesan, jika anaknya lahir perempuan, berilah nama Endang Asmaningsih.
Tepat bersamaan dengan pecahnya perang di Tempursari Lumajang, 1 Januari 1949, istrinya melahirkan anak perempuan, yang kemudian diberinya nama Endang Asmaningsih.
Sementara Abdul Rahman membantu menyelamatkan penduduk Desa Tempursari dari serangan Belanda.
Setelah pecah perang, Letkol Moh Seruji membagi pasukan nya menjadi tiga, sementara Letkol Moh Seruji bergerak ke arah Wuluhan, Abdul Rahman memutuskan pulang untuk menjenguk istrinya yang baru sebulan melahirkan.
Hingga terdengar kabar Letkol Moh Seruji gugur dalam pertempuran di Mumbulsari (8 Februari 1949).
Mendengar kabar duka itu, Abdul Rahman mengumpulkan pasukan rakyat untuk melakukan perlawanan, namun tentara Belanda mengejar perlawanan rakyat itu, hingga Abdul Rahman mundur ke arah Utara, sekitar lereng Pegunungan Argopuro.
Sekira bulan Juli 1949, situasi mulai reda, Abdul Rahman memilih melanjutkan jabatannya sebagai Kepala Desa Banjarsari.
Disamping Ayahnya yang sudah mulai sepuh, tidak mengijinkannya meninggalkan desa, istrinya yang sedang menyusui anaknya yang masih balita, menderita sakit cacar, hingga meninggal pada tahun 1951.
Pada era orde lama, Abdul Rahman memilih memperkuat barisan Partai Masyumi. (Untuk bagian ini akan dikisahkan tersendiri).
Hingga Orde Lama berahir dengan digantikannya Presiden Soekarno oleh Jenderal Soeharto. Situasi politik berubah total, Partai Politik hanya ada tiga, yakni Golkar, PPP dan PDI.
Abdul Rahman, yang memilih mengikuti jejak para gurunya, memperkuat barisan PPP, terpaksa mundur dari jabatannya pada tahun 1977, karena situasi politik yang mewajibkan semua jajaran pemerintah mendukung Golkar dinilai tidak sejalan dengan pikiranmya. (Bersambung)