Jempolindo.id _ Istilah feminisme, barangkali setara dengan makna gerakan emansipasi wanita, yang oleh Bangsa Indonesia diperingati pada tanggal 21 April sebagai Hari Kartini.
Peringatan ini bertujuan untuk menghormati perjuangan RA Kartini, dalam mewujudkan kesetaraan kesempatan antara laki-laki dan perempuan, khusus dalam bidang Pendidikan dan secara umum kesetaraan gender di semua bidang, begitupun dalam bidang politik, ekonomi dan bidang lainnya.
Peringatan tersebut membawa pemikiran etika feminisme, yang muncul jauh sebelum RA Kartini.
Etika feminisme dikelompokkan dalam tiga spektrum yang saling melengkapi. Pada awalnya sebuah gerakan sosial di Newyork, pada abad 18, yang menyuarakan hak perempuan untuk memilih.
Satu abad berikutnya pada abad 20, gerakan itu menular di Negara Asia dan Afrika.
Semangat feminisme itu berwujud gerakan pembebasan dari perbudakan dan penjajahan. Kemudian pada abad 21, munculah feminisme yang terbelenggu dalam ilmu pengetahuan dan stagnan. Sehingga ada pembatas pendidikan antara kaum laki-laki dan perempuan, mengakibatkan banyak kontradiksi yang harus dipecahkan.
Diskusi mengenai etika feminisme pada laki-laki maupun perempuan sangatlah licin untuk di perbincangkan.
Bisa saja tergelincir dalam arogansi, bila seseorang dengan mudah memproklamirkan diri sebagai feminisme.
Setelah mempelajari teori mengenai feminisme dan juga mempelajari metodologi feminisme tidak sama dengan menjadi feminin, menjadi feminisme bukan hanya persoalan akademik belaka, tetapi menjadi feminisme suatu panggilan etis.
Mempelajari metodologi feminis tidak serta-merta menjadikan seorang sebagai feminis, sebaliknya karena panggilan peradaban untuk memperbaiki konstruksi keadilan, maka berupaya untuk menghadirkan sebuah metodologi.
Teori feminis juga di elaborasi karena ada semacam imperatif etis.
Lain halnya juga laki-laki feminis masih dipertanyakan oleh masyarakat, ada keraguan tentang kemungkinan tersebut.
Masih banyak yang menyamakan pandangan antara menjadi feminin sama dengan feminisme.
Menjadi feminin berarti mengadopsi feminisme, dan feminism bukan hanya mempelajari tentang teori keadilan, belajar feminism, sama artinya dengan memahami secara konseptual jenis-jenis ketidak adilan yang tidak dipahami oleh teori filsafat, ekonomi, budaya dan ilmu lainnya.
Hanya dalam tubuh perempuan dekonstruksi ketidak-adilan bermukim.
Ketidak adilan ekonomi, politik, dan bahkan ketidak-adilan seksual bersamaan melekat pada tubuh perempuan.
Status perempuan didalam peradaban selalu dihargai sangat rendah, problem utamanya mengenai feminis laki-laki ataupun perempuan, bahwa laki-laki menikmati surplus ekonomi, politik, dan seksual beserta bidang lainnya.
80 % produk pertanian didunia dihasilkan oleh perempuan, dan hanya 14 % property di dunia yang dimiliki oleh perempuan.
Sangatlah jauh kejomplangan tersebut, maka laki-laki juga dituntut untuk menyetarakannya.
Persoalan berikutnya maukah laki-laki melepas surplus seperti itu ?
Feminin juga sama artinya mengadopsi ekonomi dan politik feminisme dalam upaya menghasilkan alam pikiran baru dalam bernegara, misalnya mengadopsi feminis dalam sistem APBN, dan memberi sentuhan feminis dalam retorika politik.
Etika feminis tidaklah selesai sampai disini, ini hanya pegangan awal agar lahir etika baru untuk memproduksi keadilan.
Etika feminis adalah on going etik, bicara etika feminis adalah bicara etika kepedulian, beberapa tahun belakangan ini sering dibicarakan etika kepedulian, misalnya bicara indeks kebahagiaan yang menyangkut filsafat utilitarian.
Bukan hanya membahas tentang GDP, indeks kebahagiaan mempersoalkan apakah distribusi keadilan sudah berdasarkan kepada pendekatan gender, didalam gender budgeting dan pengambilan keputusan politik dengan diikut sertakan 50 % dari kaum perempuan.
Etika kepedulian juga hadir dalam berbincang persoalan lingkungan yang dikenal sebagai ekofeminsime, tanpa sentuhan ekofeminisme exsploitasi terhadap bumi akan terus berlanjut dan tidak akan pernah berakhir, sehingga menjadi penting untuk mengexspansi etika kepedulian yang hadir sebagai etich of care.
Sedangkan etik of right sebuah etika, yang basisnya adalah hak yang juga bersifat hak universal, berbeda halnya dengan etika kepedulian yang basisnya adalah kondisi konkret, ia berpihak kepada situasi konkret bukan pada doktrin universal.
Etika kepedulian berbeda dengan etika utilitarian dan deontology. Etik of right yang bersifat universal menghasilkan praktik moral diuji berdasarkan public policy, etik of right menjadikan hidup lebih tertakar, sedangkan etik of care mengacu pada pergeseran kesewenangan pada ketidak seimbangan dalam berpolitik, berekonomi dan bidang seksual.
Problem ketidak-adilan yang dibincangkan oleh feminis adalah model persoalan analisis yang alasannya adalah suatu kode dalam etich of right berdasarkan virtue.
Etich of right ditulis oleh laki-laki, misalnya ketidak adilan bukan dari abstraksi melainkan konkretan atas ketidak adilan.
Bahwa disini didapatkan dua (2) sebuah hipotesa yang mana etik of care harus dijawab dalam tantangan etik of right.
Perbedaan mendasar antara etika feminism dan etik of right, mengandaikan bahwa masalah yang dihadapi manusia semua universal, mengandaikan bahwa respons terhadap problem manusia semua universal.
Etika feminis selalu bersifat stuated knowledge yang artinya pengetahuan perempuan, dan mengapa pengetahuan perempuan selalu berlokasi pada situasi konkret, ia muncul dari kebertubuhan perempuan.
Sedangkan laki-laki selalu bertumbuh pada abstraksi dan diformulasikan menjadi nilai yang universal.
Etika kepedulian adalah respon dari jenis etika baru. Tahun 1982 gilligan dalam buku yang berjudul in a dofferent voice, Gilligan melihat bahwa tidak mungkin prinsip-prinsip mengatur moral yang dibuat sama hasilnya antara laki-laki dan perempuan.
Gilligan melihat etika yang dibuat oleh perempuan dan laki-laki sangatlah berbeda, etika kepedulian lahir untuk etik of right, tapi etika tersebut dimanfaatkan untuk etika jenis baru.
Etik of right adalah subjek dari publik yang tertuang jelas dalam pasal 27 UUD-1945, sedangkan etika kepedulian adalah subjek dari sosial yang berimplikasi pada pespektif sosiologi hukum dan filsafat hukum.
Etika kepedulian lebih melihat persoalan dan situasi konkret dalam persoalan, sehingga ia mampu menyentuh persoalan secara lebih radikal.
Refleksi kritis nampaknya harus terus berlanjut, karena kritis jauh lebih dekat dengan etika kepedulian, jangan sampai memahami teori, terlatih secara akademik namun defisit dalam moral etis.
*) Konten sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis